Ini Dia Kenapa 200 Ribu Orang Indonesia Berobat di On Clinic
Cukup banyak masyarakat Indonesia berobat ke Australia untuk memperbaiki fungsi seksualnya, membuat On Clinic memutuskan untuk mengembangkan tekhnologi yang dimilikinya di Indonesia. Dengan begitu, masyarakat tak perlu lagi membuang devisa cukup besar, agar dapat membahagiakan pasangan di ranjang.
“Alasan ini yang membuat saya memutuskan untuk bertemu dengan pihak On Clinic Internasional, dan meminta untuk memberikan teknologi ini. Ternyata, tekhnologi itu bisa digunakan oleh dokter-dokter di Indonesia,” kata General Manager On Clinic, Fithrie Firdaus.
Penelitian tingkat dunia, tambah Fithrie, pria yang menderita disfungsi seksual yaitu Ejakulasi Dini dapat mencapai 30 sampai 50 persen. Sedangkan disfungsi seksual menyangkut ereksi, sebesar 10 persen lebih.
Ia mengaku, respons cukup baik pun diterima pihaknya ketika On Clinic berdiri pertama kali pada 1994. Karena selama ini, tidak ada satu tempat yang dapat ‘menampung’ para pasien yang menderita penyakit ini. Baik penderita Impotensi, maupun Ejakulasi Dini. “Suatu tempat yang dapat menangani masalah ini secara medis oleh dokter, yang pengobatannya dapat dipertanggungjawabkan juga secara medis,” kata Fithrie menambahkan.
Selama 18 tahun berdiri dan sudah memiliki 17 klinik yang tersebar di seluruh kota besar di Indonesia, On Clinic mencatat telah mengobati 200.000 pasien. Itu pun jumlahnya masih sedikit. Padahal, kalau diambil 10 persen dari jumlah pria dewasa yang berjumlah 40 juta, itu berarti sekitar 4 juta pria belum diobati.
“Banyak alasan yang melatarbelakangi ini. Entah dia malu mengakui penyakitnya, atau berobat ke Mak Erot, kita juga enggak tahu. Yang pasti, On Clinic baru mengobati sebesar 200.000 orang,” kata dia menerangkan.
Baca juga :
Berdirinya On Clinic di Indonesia, dipergunakan untuk mengedukasi masyarakat bahwa ternyata, hasil dari temuan timnya, pengobatan di Mak Erot menggunakan sistem tipu menipu. Bagaimana pun, yang memiliki ‘ilmu’ untuk mengobati itu adalah Mak Erot, bukan anak dan cucunya yang sekarang mengambil alih pengobatan alternatif tersebut.
“Itu kan tidak bisa dipertanggungjawabkan secara medis. Untuk itu, kami menghimbau, datanglah ke pengobatan yang ada dokternya dan memiliki izin serta dapat dipertanggungjawabkan secara medis,” kata dia menekankan.
Dari 200.000 orang yang sudah menjadi pasiennya, Fithrie menjelaskan bahwa 98 persennya adalah pria. Sedangkan sisa 2 persennya adalah wanita. “Ternyata, wanita di Indonesia lebih susah untuk berobat,” kata wanita berambut pendek ini.
Jika berbicara disfungsi seksual pada wanita, sebesar 40 sampai 50 persen wanita mengalami disfungsi seksual berupa gangguan orgasme dan tidak memiliki gairah. Terbesar, pasien itu tidak bisa orgasme.
“Kalau untuk prianya, 60 persen mengalami impotensi dan 40 persen mengalami Ejakulasi Dini. Kalau Impotensi dialami pria yang usianya lebih tua, sedangkan untuk Ejakulasi Dini dialami pria muda, dengan usia 30 sampai 35 tahun,” kata Fithrie menjelaskan.
Beda perawatan di On Clinic dan Rumah Sakit lain
Di On Clinic, memang secara khusus menangani pasien yang mengalami permasalahan dengan seksual. Baik pada pria, maupun pada wanita. Di rumah sakit pada umumnya, yang ditangani secara khusus untuk permasalahan satu ini, belum ditemukan data pastinya.
Lagipula, ketika pasien berobat ke On Clinic, segala kerahasiaannya dijamin dan tidak akan dibeberkan pada pihak yang tidak bertanggung jawab.
“Kerahasiaan dan data pasien sangat kita jaga. Pasien pun datang berdasarkan janji dan jamnya,” kata Fithrie menjelaskan.
Selain itu, setiap pasien yang berobat di On Clinic akan dilayani dan diberi ruang yang berbeda untuk menunggu. Sehingga, pasien tidak malu dan tidak perlu menunggu beramai-ramai. “Jadi, pasien tidak saling bertemu. Karena kan, kalau beramai-ramai gitu malu, kasihan mereka. Kita berusaha menjaga privasi pasien. Mungkin, itu yang tidak dimiliki di tempat lain,” kata Fithrie menjelaskan.
Selain itu, On Clinic tak gentar untuk bersaing dengan pengobatan alternatif yang mengaku bisa melakukan itu. Dari sisi medis saja, para ‘dokter’ di pengobatan alternatif tidak mengetahui ilmunya.
“Makanya kita beriklan di mana-mana supaya masyarakat tahu keberedaan kami. Masalahnya, masih banyak orang yang malu tentang penyakitnya ini, sehingga tanpa membaca keberadaan kami, mereka datang ke tempat yang mereka ketahui, yaitu alternatif,” kata dia menerangkan.
“Memang, faktor budaya sangat dominan di Indonesia. Sehingga, pasien masih merasa malu untuk berobat,” kata dia menambahkan.